Bertolak
ke bagian ilir sungai Musi. Disini seperti yang kita ketahui adanya pasar 16
ilir. Karena perkembangan zaman, pasar 16 ilir tak lagi menjadi pasar
tradisional, namun lebih kepada pasar grosir. Tidak jauh dari keberadaan pasar
16 ilir tepatnya dipinggiran sungai Musi bagian ilir, terdapat kurang lebih 9
perahu kecil. Ini bukan perahu untuk dijadikan transportasi air, walaupun
memang ada perahu yang dikhususkan untuk transportasi air, namun ini beda. Apa
yang membedakan? Yang menjadikannya beda adalah perahu ini merupakan perahu
untuk berdagang makanan. Warung nasi tepatnya. Yang dijual ada banyak, misalnya
masakan khas Sumatera Selatan yakni pindang pegagan. Masakan Padang yang
terkenal dengan pedasnya pun ada. Tak hanya makanan, jika dilihat baik-baik dan
teliti, perahu-perahu ini ada juga yang menyediakan warung kopi.
Dengan
perahu sebagai wadahnya, pasar terapung memiliki keunikan tersendiri.
Menjajahkan warung nasi diatas sungai Musi dengan ombak yang tak terlalu
tinggi, juga pasang surutnya air sungai menjadikan pasar terapung semakin
terlihat berbeda.
Berbicara
tentang perbedaan, pasar terapung memang berbeda dengan warung nasi lain yang
ada dimana-mana. Pasar terapung di Palembang adalah warung nasi modern namun
tidak meninggalkan kesan tradisionalnya, karena pasar terapung ini seperti yang
terlihat pada gambar 1.2., menggunakan perahu sebagai tempat berdagang makanan.
Telah kita bahas diawal tadi, bahwa pasar terapung menyediakan makanan khas
Sumatera Selatan yaitu pindang pegagan, masakan Padang pun ada yang menjual,
dan juga warung kopi yang pastinya menyediakan kopi bagi pembelinya.
Teriknya matahari
memuncak diubun-ubun kepala kami. Panasnya kota Palembang tak terelakkan lagi.
Tepat pukul 13.00 sesudah melaksanakan kewajiban shalat dzuhur, perjalanan kami
dimulai. Sengatan matahari, belum lagi bisingnya kota Palembang menemani
perjalanan kami menuju pasar terapung. Senin, 20 Juni 2011 kami ukir perjalanan
dengan senyuman bangga.
Memang sudah menjadi
tugas kami para mahasiswa jurusan Jurnalistik IAIN Raden Fatah Palembang ini
untuk meliput daerah pinggiran sungai Musi, tepatnya pasar terapung. Panasnya
hari tidak membuat kami gentar untuk tetap melanjutkan perjalanan ke pinggiran
sungai Musi. Wajar saja salah satu dari kami, Dita (19 thn) menyebut Palembang
dengan sebutan Palembang Hell City.
Kami tidak mengartikannya sebagai Kota Neraka, namun mengartikannya sebagai
Palembang kota yang panas.
Tak
hentinya cawa kami ketika menaiki
angkutan kota jurusan Ampera. Tawa sana sini tidak membuat pak sopir marah.
Mobil merah yang nantinya akan melanjutkan perjalanan sampai ke Km. 5 ini
akhirnya berhenti di bawah jembatan Ampera, sesuai dengan jurusannya, Km. 5 –
Ampera.
Langsung
saja kami menuju ke pasar terapung yang memang sudah kami jadwalkan meliput
kesana. Baru saja melangkahkan kaki melewati wisata kuliner yang ada di
pinggiran Musi, kami berhadapan dengan 3-5 pelayan warung makan yang juga
menjajahkan makanan. Tapi maaf mbak, maaf bu, maaf mas, maaf kak, bukan warung
makan ini yang kami cari.
Terbebas dari warung
makan yang terlihat lumayan modern itu, kami menuruni tangga untuk segera
melanjutkan perjalanan mencari pasar terapung. Awalnya kami tidak tahu dimana
pasar terapung di Palembang ini, tapi untungnya dua diantara kami telah
terlebih dahulu hunting dimana pasar
terapung tersebut.
Kami mencari tempat
yang terlihat sedikit sepi. Dan mata kami tertuju pada Pasar Terapung Angin
Berembus masakan Padang. Kami memilih Pasar Terapung Angin Berembus karena
inilah satu-satunya warung nasi yang menyediakan masakan Padang. Terlihat yang
lain banyak menyediakan pindang pegagan khas daerah Sumatera Selatan.
Selain karena belum
banyaknya pengunjung yang datang dan warung ini merupakan satu-satunya warung
yang menyediakan masakan Padang, yang membuat kami tertarik adalah nama dari
warung nasi/ pasar terapung ini. Angin Berembus.
Gambar 1.3. Salah satu pasar terapung yang ada di
pinggiran sungai Musi
Jembatan
kecil yang terbentang, digunakan pengunjung untuk menyeberang ke perahu.
Sedikit menegangkan menyeberanginya. Badan harus seimbang, sebab pegangan yang
bisa digunakan hanyalah sebatang kayu gelam di sisi kanan dan kirinya yang
ditancapkan ke dasar sungai. Belum lagi jika angin sedang kencang, bisa saja
badan yang tidak seimbang dapat terbang melayang dibuatnya.
Angin
Berembus menyapa kami dengan ramah. Pak Rajab (46 thn), pelayan yang berparas
lumayan enak dipandang, menebar senyum sumringahnya ketika kami sampai ke muka
perahu. Bau sedap masakan Padang memanjakan perut kami yang memang lapar untuk
segera memesan makanan dan langsung santap siang.
Ayah dari Chelsea (1
thn) ini asli Padang. Ia sudah 7 tahun bekerja dengan Pak Novan (30 thn) di
dunia kuliner. Namun bekerja di Pasar Terapung Angin Berembus yang dimiliki Pak
Novan ini dilakoninya baru 3 bulan terakhir. Angin Berembus membuka tiga
cabang, salah satunya di STM 1 Palembang. Penghasilannya yang tidak banyak
yakni Rp 50.000,- per hari ini cukup untuk memenuhi kebutuhan satu anak dan
satu istrinya.
Dua
porsi nasi ayam panggang kuah rendang, satu porsi nasi telur, empat gelas es
teh manis, dan dua cangkir kopi. Itu daftar menu makan kami siang itu. Cukup
dengan mengeluarkan uang Rp 41.000,- kami puas dengan Angin Berembus. Tak kalah
dari makanan di restoran ternama ataupun rumah makan Padang di tempat ternama.
Berikut daftar menu Pasar Terapung Angin
Berembus beserta harga.
No.
|
Nama
Makanan
|
Harga/
porsi
|
1.
|
Nasi
Ayam
|
Rp 10.000,-
|
2.
|
Nasi
Rendang
|
Rp 9.000,-
|
3.
|
Nasi
Ikan
|
Rp 7.000,-
|
4.
|
Nasi
Telur
|
Rp 5.000,-
|
5.
|
Nasi
Perkedel
|
Rp 5.000,-
|
6.
|
Nasi
Tahu
|
Rp 4.000,-
|
7.
|
Es
Teh Manis
|
Rp 3.000,-
|
8.
|
Es
Jeruk
|
Rp 3.000,-
|
9.
|
Kopi
|
Rp 2.000,-
|
10.
|
Teh
Hangat
|
Rp 2.000,-
|
Penghasilan
Angin Berembus per harinya mencapai minimal Rp 500.000,- jika pengunjung tidak
sepi. Mengasyikkan bisa makan di pasar terapung ini. Belum lagi kita
mendapatkan hiburan dengan bergoyangnya perahu akibat dihantam ombak kecil.
Tawa ataupun jeritan bagi yang terkejut, menghiasi wajah setiap pengunjung yang
sedang menikmati santapannya.
Angin
Berembus sebenarnya mempunyai 2 pelayan. Namun saat kami mendatangi Angin
Berembus siang itu, pelayan satunya hanya berada di bagian dapur dan sedikit
mengawasi kami.
Pak
Rajab menyatakan bahwa bekerja di pasar terapung ini santai, dalam artian tidak
sesibuk bekerja di rumah makan modern yang besar. Tapi, beliau mengaku kurang
memiliki waktu luang yang panjang untuk keluarga. Bagaimana tidak? Pasar terapung sendiri buka
dari jam 9 pagi sampai jam 5 sore dan tak pernah sepi pengunjung.
Beliau
berharap kotoran disamping perahu dan didepan perahu di bersihkan. Memang
terlihat agak menjijikkan melihatnya. Apalagi ketika air sedang surut seperti
saat kami mendatangi Angin Berembus siang itu. Kotoran dimana-mana, sampah
bertebaran sana-sini, belum juga terlihat orang buang air kecil sembarangan
seperti tak tahu malu. Karena parkir perahu yang lumayan tinggi dan tiap
tahunnya naik, dirasa kurang sepadan dengan kotornya daerah sekitaran perahu.
Sepuluh ribu rupiah. Besarkah nominal tersebut? Tidak bagi mereka yang memiliki
banyak uang. Ya, bagi mereka yang kurang mampu.
Harapan
tersebut bukan hanya Pak Rajab atau Angin Berembus sendiri yang menginginkan
adanya perubahan. Pak Rajab menyatakan bahwa setiap perahu mempunyai harapan
yang sama. Dimana selogan Palembang sebagai kota BARI? Bukankah B dari BARI itu
adalah bersih?
Meskipun
sudah banyak yang meninggalkan pasar terapung sungai Musi, Angin Berembus dan
beberapa perahu lain masih tetap bertengger di pinggir Musi. Warung makan lain
sudah membuka warung yang lebih terlihat modern tak jauh dari pasar terapung
ini. Keberadaannya akan tetap ada dan diperhitungkan apabila Angin Berembus dan
perahu lain tetap tegar melawan kerasnya perkembangan zaman.
0 komentar:
Post a Comment