Pembangunan jembatan gerak ini dimulai pada bulan april 1962, setelah mendapat persetujuan dari presiden soekarno. Biaya pembangunannya diambil dari dana rampasan perang jepang dalam kata lain semua di tanggung oleh pemerintah jepang dari kontraktor dan pekerja.
Pada awalnya, jembatan sepanjang 1.177 meter dengan lebar 22 meter ini, dinamai jembatan bung karno. Menurut sejarawan djohan hanafiah, pemberian nama tersebut sebagai bentuk penghargaan kepada presiden ri pertama itu. Bung karno secara sungguh-sungguh memperjuangkan keinginan warga palembang, untuk memiliki sebuah jembatan di atas sungai musi.
Pada saat bagian tengah jembatan diangkat, kapal dengan ukuran lebar 60 meter dan dengan tinggi maksimum 44,50 meter, bisa lewat mengarungi sungai musi. Bila bagian tengah jembatan ini tidak diangkat, tinggi kapal maksimum yang bisa lewat di bawah jembatan ampera hanya sembilan meter dari permukaan air sungai.Sejak tahun 1970, jembatan ampera sudah tidak lagi dinaikturunkan. Alasannya, waktu yang digunakan untuk mengangkat jembatan ini, yaitu sekitar 30 menit, dianggap mengganggu arus lalu lintas antara seberang ulu dan seberang ilir, dua daerah kota palembang yang dipisahkan oleh sungai musi.
Jembatan ampera pernah direnovasi pada tahun 1981, dengan menghabiskan dana sekitar rp 850 juta. Renovasi dilakukan setelah muncul kekhawatiran akan ancaman kerusakan jembatan ampera bisa membuatnya ambruk.
Bersamaan dengan eforia reformasi tahun 1997, beberapa onderdil jembatan ini diketahui dipreteli pencuri. Pencurian dilakukan dengan memanjat menara jembatan, dan memotong beberapa onderdil jembatan yang sudah tidak berfungsi. Warna jembatan pun sudah mengalami 3 kali perubahan dari awal berdiri berwarna abu-abu terus tahun 1992 di ganti kuning dan terakhir di tahun 2002 menjadi merah sampai sekarang.
Setelah merdeka, masyrakat seberang ulu dan seberang ilir jika hendak menyeberang. Mereka menggunakan transportasi air berupa perahu atau tongkang. Masyrakat Palembang lalu meminta kepada Presiden RI pertama, Ir Soekarno untuk membuat jembatan yang dapat memudahkan akses transportasi melakukan penyeberangan. Soekarno setuju. Pembangunan jembatan dimulai 16 September 1960 silam. Biaya pembangunannya diambil dari dana pampas an perang Jepang yang ditaksir kala itu sekitar 2,5 miliar yen. Tenaga ahli juga didatangkan dari negeri matahari terbit tersebut. Semula bagian tengah badan Jembatan Ampera ini bisa diangkat bila ada kapal besar yang lewat di bawahnya. Bagian tengah jembatan dapat diangkat dengan peralatan mekanis, dua bandul pemberat masing-masing sekitar 500 ton di dua menaranya. Kecepatan mengangkat hanya butuh 30 menit untuk mengangkat penuh jembatan. Namun kemampuan untuk angkat badan jembatan itu hanya bertahan sekitar 10 tahun. Sebab pada tahun 1970, bagian tengah jembatan ini sudah tidak dapat diangkat lagi karena arus lalu lintas sudah mulai ramai yang melewati jembatan itu. Kapal kecil yang memiliki ketinggian maksimal 9 m, masih dapat lewat di bawah jembatan kebanggan wong kito ini. Tahun 1990, kedua bandul pemberat di menara ini diturunkan untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.
Jembatan
Ampera semula berwarna abu-abu. Kemudian sempat diubah warna kuning
pada masa Orde Baru. Kemudian di masa kepemimpinan Wali Kota Eddy
Santana Putra, warna jembatan itu itu dicat merah. Eddy Santana yang
ingin menghidupkan wisata bahari Palembang. Menghiasi jembatan tersebut
dengan lampu-lampu yang menarik. Alhasil landscape berlatar
belakang Jembatan Ampera sangat indah dengan kerlap-kerlip cahaya lampu
yang menawan. Ada juga orang yang berkomentar melihat Jembatan Ampera
setelah dipoles, laksana melihat jembatan San Fransisco di malam hari.
Mungkin perbandingan ini amat jauh namun sedikitnya wong Palembang,
boleh bangga karena keindahan jembatan itu mulai menyedot perhatian.
Obsesi Eddy Santana untuk menjadikan Jembatan Ampera sebagai ikonnya
kota Palembang secara internasional berangsur-angsur sepertinya mulai
terwujud. Televisi nasional mulai sering menggelar event nasional
berlatar belakang jembatan tersebut.
Jembatan
Ampera atau orang-orang tua kadang menyebutnya ‘Proyek’ diresmikan
Letjen Ahmad Yani, pada 30 September 1965. Ini merupakan kiprah terakhir
Letjen Ahmad Yani di Sumsel karena besoknya beliau tewas dibunuh oleh
Gerakan 30S-PKI. Mulanya jembatan ini dinamakan Jembatan Bung Karno.
Pemberian nama ‘Bung Karno’ sebagai ungkapan terima kasih masyarakat
Sumsel khususnya warga Palembang karena Presiden Soekarno telah
mengabulkan permintaan masyarakat agar dibangunkan jembatan. Namun saat
itu wibawa Bung Karno sedang merosot tajam apalagi pasca peristiwa
penculikan tujuh jenderal dalam Gerakan 30S-PKI. Gerakan Anti-Soekarno,
menyebar dimana-mana sehingga berakibat juga pergantian nama jembatan
menjadi Jembatan Ampera yang merupakan singkatan dari Amanat Penderitaan
Rakyat.
Jembatan kebanggan wong Sumsel
ini, sudah sering tertabrak kapal pembawa batu bara yang melintas di
bawahnya. Selain memang sudah berumur ada benturan keras itu menyebabkan
pergeseran sehingga diperlukan renovasi. Tahun 1981, pemerintah
menghabiskan dana sekitar Rp. 850 juta dalam melakukan renovasi.
Renovasi dilakukan setelah muncul kekhawatiran akan ancaman kerusakan
Jembatan Ampera bisa membuat ambruk. Kekhawatiran ini cukup beralasan.
Januari 2008 silam, sebuah tongkang pembawa batu bara menabrak jembatan
ini hingga menyebabkan salah satu tiang fender patah. Seorang peramal
asal Belanda, Mama Laurent juga pernah meramalkan pada tahun 2007
Jembatan Ampera akan ambruk jika tidak dilakukan renovasi. Memang
ramalan itu tidak terbukti apalagi pemerintah menyikapinya dengan
melakukan renovasi. Pemerintah Jepang juga pernah melakukan riset yang
kesimpulannya menyatakan Jembatan Ampera masih tetap kokoh sampai 50
tahun lagi.
0 komentar:
Post a Comment